Minggu, 27 April 2008

Lelaki Pencatat Gerimis

Kau mungkin akan terkejut setelah kuceritakan siapakah sosok yang tengah memunggungi kita sekarang. Dia duduk tepat di hadapan kita. Sebuah jalan besar membuat jarak tersendiri antara dia dan kita. Lelaki itu terlihat asyik dengan dunianya. Dia tidak peduli terhadap sekelilingnya.

Bangku yang didudukinya seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari riwayat keberadaannya. Tentu kau lihat juga, tak seorang pun di taman itu yang mau duduk di sampingnya. Bangku panjang yang terbuat dari besi itu semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai makhluk nyata yang tak benar-benar ada.

Andai kau duduk di kursi ini setiap senja, kau tentu akan tahu, bahwa kehadirannya di taman seberang jalan itu adalah pertanda semata. Sebuah pertanda yang tak disadari siapa pun, termasuk aku pada awalnya. Tapi aku tahu sekarang. Aku mulai bisa membaca pertanda itu tepat kecer melihat sebuah kursi kosong di sudut cafe ini. Aku sebetulnya tak terbiasa duduk di sudut. Tempat yang tak pernah terlewati banyak pengunjung ini. Tapi hari itu, aku memutuskan duduk di sini. Di kursi ini. Kupesan segelas Cappucino, dan saat itulah aku melihatnya.

Mulanya kulihat dia sebagai bagian dari taman itu. Kehadirannya adalah sesuatu yang tak berarti apapun. Tapi setelah setengah jam aku duduk, aku mulai tertarik dengannya. Dia adalah satu-satunya makhluk yang tak bergerak dari sekian makhluk yang ada di taman itu.

Saat itu juga aku berencana untuk menghampirinya. Tapi ketika aku berdiri, tiba-tiba kulihat langit mulai menangis. Gerimis turun perlahan. Aku tak jadi membayar minuman. Aku duduk kembali dengan menambah pesanan sebuah kopi pahit.

Aku pikir lelaki itu telah hilang dengan bergulirnya gerimis dari langit. Tapi sosok itu masih bertahan hingga kulihat gerimis semakin kerap. Dia tak menunjukan tanda-tanda akan pergi. Rambut gondrong yang semula berkibar-kibar diterpa angin senja itu kulihat menjadi lengket dan basah. Jaket hijau tuanya menjadi bersemu abu-abu. Dia tidak merubah posisi duduknya. Saat itulah, wajahnya menjadi sesuatu yang sangat penting bagiku melebihi apapun di atas dunia ini.

Gerimis menjelma hujan. Air yang jatuh tak lagi berirama lembut, tapi bertalu-talu. Suaranya mampu memacu detak jantungku semakin cepat. Aku segera menyambar switer yang kusandarkan di kursi, membayar minum, lantas menerjang hujan, menembus basah, menuju taman. Aku ingin melihat wajah lelaki itu. Wajah yang mampu menantang gemuruh badai dengan diam. Sampai di taman, aku tak menemukan siapa pun. Aku sendirian di tengah-tengah taman, di antara hujan dan kilat yang menyambar-nyambara.

Kau pikir dia hantu? Yang hadir seperti fenomena-fenomena gaib yang sering ditayangkan di televise-televisi itu? Tidak. Bukan. Kau harus mendengar ceritaku sampai selesai, agar kau tahu apa yang terjadi setelah hari itu. Benar katamu. Setelah hari itu, aku seringkali dating ke tempat ini. Memilih duduk di kursi ini. Memandang ke seberang jalan. Mengamati dengan penuh semua yang terjadi di taman itu. Hari pertama setelah kejadian itu, aku tak bertemu dengannya. Begitu pun hari kedua. Tapi hari ketiga aku kembali melihatnya. Dia duduk di bangku panjang yang terbuat dari besi itu dengan posisi membelakangi tempat kita duduk sekarang, persis seperti tiga hari yang lalu, saat aku pertama kali melihatnya.

Aku memang bertekad menghampirinya langsung. Setelah kulihat dia benar-benar duduk di bangku panjang itu. Aku pun beranjak dari kursi. Hari itu pun senja. Tapi langit tak seindah yang selalu digambarkan Seno . Sampai di depan pintu café aku tak segera menyeberang jalan. Seorang rekan lamaku baru saja turun dari mobilnya, dia menyapaku lebih dulu.

Dengan berat hati aku kembali duduk di kursi semula. Rekanku itu rupanya memang hendak masuk ke tempat ini. Kami bertukar kabar setelah bertahun-tahun tak bertemu. Aku sesekali mencuri pandang ke taman, lelaki itu masih terpaku di sana. Hingga akhirnya kusadari, gerimis turun terburu-buru. Lantas secepat hitungan stopwatch, gerimis menjelma hujan lebat. Kami keluar setelah hujan reda, dan aku tak menemukan lelaki itu. Kupikir lelaki itu memang pergi saat gerimis mulai turun. Hari itu pun selesailah penantianku. Besoknya aku datang lagi. Aku menemukan dia kembali duduk di sana. Tapi aku tak segera beranjak dari tempat ini. Keinginanku telah berubah. Aku telah memutuskan untuk menikmatinya sebagai sebuah objek. Dan kubiarkan dia hidup dalam anganku. Dengan segala keasingannya. Dengan ribuan pertanyaan yang berkecamuk dalam kepalaku.

Barulah setelah kulihat dia kesembilan kalinya, aku mampu menyimpulkan sesuatu tentangnya. Kau mungkin takkan percaya jika kuceritakan semuanya. Tapi bukankah saat ini kita akan membuktikannya?

Lelaki itu selalu menandai sebuah gerimis. Gerimis akan turun jika lelaki itu duduk di sana. Tapi gerimis tak akan pernah datang sampai kapan pun jika lelaki itu tak hadir di sana. Lelaki itulah pertanda gerimis. Dia akan tetap duduk di sana sampai gerimis menjelma hujan badai. Setelah hujan, lelaki itu akan menghilang di antara riuh suara angin dan dedaunan yang meliuk-liuk karena terpaan badai. Tapi jika gerimis berlangsung berjam-jam, lelaki itu akan tetap di sana. Menunggu gerimis usai. Untuk itu pula, kunamai dia Lelaki Penghitung Gerimis.

Betulkan? Coba lihat ke luar sana, gerimis mulai turun. Ayo kita ke sana. Bukankah kita ingin melihat sosoknya dari depan? Sekaranglah saat yang tepat. Ayo!

"Jika benar kau mencintaiku, aku ingin dibuatkan hujan. Ya, hanya hujan." Perempuan bermata bening itu telah membuatnya mengiyakan apa yang sebetulnya tak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa dia bisa melakukan semua itu.

"Akan aku buatkan kau hujan yang indah, tunggulah sampai aku kembali," ucap lelaki itu sambil berlari meninggalkan kekasihnya.

Lelaki itu lantas mengembara. Dia pergi dari satu desa ke desa lain. Dari satu kota ke kota lain. Dari satu pawang hujan ke pawang hujan yang lain. Dari ilmu tradisional memanggil hujan sampai teknik modern dia pelajari. Tapi tak pernah satu pun cara berhasil ia lakukan. Jangankan hujan, gerimis pun tak pernah berhasil ia panggil.

Lelaki itu putus asa dan hampir menyerah. Sampai satu kesempatan datang. Bertemulah dia dengan seorang perempuan di sebuah pegunungan. Pertemuan itulah yang mampu membuatnya mewujudkan mimpi. Perempuan tua dengan wajah tirus itu mengajarinya memahami bahasa langit dan isyarat awan. "Semua yang ada di langit dan bumi ini adalah pertanda yang harus kau baca. Jika kau menginginkan alam tunduk kepadamu, pahamilah isyarat dan gerak di sekelilingmu, dari sana kau akan mengetahui apa yang tak bisa dipahami orang-orang." Begitulah ucapan perempuan itu untuk yang terakhir kalinya. Sebelum lelaki itu kembali menemui kekasihnya.

Lelaki itu telah sampai ke asal kotanya. Tapi ia tak langsung menemui kekasihnya. Lelaki itu ingin memberikan hadiah istimewa untuk perempuan bermata bening, kekasihnya. Dia tahu, hujan akan turun dua hari lagi. Dan lelaki itu akan pergi ke rumah kekasihnya tepat saat gerimis akan jatuh pelan, mencium tanah dengan kerinduan yang sangat. Seperti rindunya yang bertumpuk-tumpuk untuk perempuan bermata bening itu.

Hari itu pun segera tiba. Lelaki itu telah siap dengan rindu yang khusus dikemasnya untuk sang kekasih. Lelaki itu sampai di depan pintu rumah kekasihnya. Gerimis mulai jatuh perlahan. Tapi yang dilihat oleh lelaki itu bukanlah senyum indah milik perempuan bermata bening, kekasihnya. Melainkan sebuah upacara. Sebuah ritual pengikatan dua anak manusia. Perempuan itu dilihatnya menikah dengan lelaki lain. Bukan dia.

Lelaki itu menjerit, meraung, berteriak. Hujan semakin deras membasahi bumi. Kilat dan guntur saling berkejaran. Mereka seakan-akan mengerti tentang apa yang tengah terjadi dalam diri lelaki itu. Dalam diri lelaki itu telah hadir benih kesedihan, menumbuhkan luka yang terus memanjang dalam sejarah hidupnya.

Kita menggigil di taman ini. Kita telah masuk dalam wilayah sejarah seorang anak adam. Di matanya kulihat akar-akar luka yang menghunjam sampai ke jantung. Tatapannya ibarat sulur-sulur yang hidup beratus-ratus tahun. Menjerat leher kita dalam satu hentakan. Wajah kakunya berbicara lebih banyak lagi tentang rasa sakit dan perasaan dikhianati. Gemerutuk giginya mengisyaratkan kita pada amarah yang tak pernah ia tuntaskan. Dendam yang tak terselesaikan.

Kita makin menggigil. Entah karena hujan yang mengirim dingin atau karena pemahaman baru tentang seorang lelaki. Lelaki Penghitung Gerimis. Bangku panjang taman ini telah membuat kita membeku. Kaki kita tak juga beranjak. Semua yang kita lihat membuat kita enggan kemana pun. Kita pun membatu di bangku panjang ini. Membiarkan lelaki itu pergi dengan wajah yang tak pernah bisa kita lupakan.

"Kamu lihat dua orang yang duduk di bangku panjang yang terbuat dari besi di taman seberang jalan itu?" kata seorang perempuan kepada kekasihnya. Mereka duduk di kursi, pada sudut sebuah cafe.

"Kamu mungkin akan terkejut setelah kuceritakan siapakah mereka yang tengah duduk memunggungi kita sekarang ini." Perempuan itu berbicara lirih, seakan-akan takut didengar orang. Tangannya erat menggenggam tangan kekasihnya

0 komentar: