Minggu, 27 April 2008

Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta

Dalam percakapan yang lamat, berdengung, seperempat tertangkap maka absah untuk menduga, mulai curiga, sebagai mana yang kaualamatkan pada nol. Tepat! di benakmu ada yang ketemu antara diriku dan bilagan nol. Sebab nol adalah bilangan yang patut kau curigai. Sesuatu yang tidak mengenal lusuh, namun tetap acak, dalam potensi-potensi dan pilihan-pilihan tak terduga, seperti mengapa misalnya seorang anak lebih memilih uang saku daripada sebuah kantung berisi kue-kue yang jauh lebih mahal bersama dengan ucapan selamat menimba ilmu. Kecurigaan yang tidak perlu di rekayasa dan memerlukan banyak alasan pendukungnya. Nol adalah malapetaka, segala bilangan mulai menyusun dunianya sendiri dan harus segera menghindari jauh-jauh dari sumbernya sebelum ia disetubuhi dan masuk lagi dalam bilangan yang tak pernah lusuh itu. Semacam singularitas, yang akan membuat perjalanan segala bilangan lain menjadi sia-sia dan tak bermakna.

Tapi, tentu saja engkau harus terus mengingat saat-saat dimana aku mempersmbahkan sajak-sajak yang kubiarkan tetap hidup dalam tembok dan pintu kamarmu. juga bau manja buah durian ketika sebuah tiang listrik ikut hangus dalam sambaran petir dan gelap hujan. Juga ketika engkau membangunkanku pada sebuah sore, sebab aku harus menyerap kabar-kabar terbaru hari ini dari sebuah televisi. Engkau tahu, aku memang berusaha keras untuk memanjakanmu terutama agar engkau berani mengerang tajam ketika akan mencumbumu. Dan, ciuman itu, memang bisa lebih panjang dari duapuluh lima iklan.

Engkau harus terus mencurigaiku, sebab sebaik-baiknya aku padamu, bisa saja aku berupaya keras mendapatkanmu kembali. Dan, jika itu yang terjadi, bisa saja ini sebagai surat cinta untuk mu.

Dan, harus kuajarkan sekali lagi, biar lebih pasti, bahwa engkau sekali-kali tidak bisa meminta pertanggungjawaban dari setiap keinginanku. Menanggungnya saja, sudah lebih dari segala bentuk pertanggung jawaban yang layak. Dan, jangan sekali-kali pula engkau menyuruhku untuk berangkat dewasa, lebih berpikir bagi masa depan dan tetek-bengek yang tidak menarik tentang hidup di kemudian hari, sebab engkau cenderung akan tersesat sebagaimana orang lain menganggap masa lampau--terlebih lagi masa kanak-kanak--adalah masa yang renyah, jinak, tak menanggung beban.

Aku akan menguliti keyakinanmu, sampai pedihnya menjalar keluar dari rumahmu menuju gang-gang dan bunga-bunga yang menjenguk keluar dari pagarnya akan lambat laun layu, sebab memang hal seperti itu pedih benar. Tapi, bukankah kepedihan-kepedihan itu yang akan terus mengingatknmu padaku? Ingat,setiap kesenangan akan gampang usang, lapuk dimakan cuaca.

Tapi, seberapa hebat engkau berusaha menolakku? Bahkan ketika engkau terpaksa mengutip Einstein sewaktu terbit Seratus Pengarang Melawan Einstein? Jika aku benar-benar menginginkanmu, maka satu bunga saja cukup, tidak perlu seratus bunga. Terus kau ulang itu dalam pagar besi yang tertutup rapat. Tapi, ini salah satu rahasia keinginan, aku masih ingin dan aku pasti melakukannya. Hingga memang benar-benar ada, suatu saat ketika engkau membangunkanku terus menerus dalam rindu yang tak terganti, bahkan dalam menatap wajah lelah ku seusai mencumbumu.

Seringkali terlupakan olehmu, pesanku itu, jauh hari sebelum ada surat-surat, bunga-bunga, sajak-sajak jauh hari sebelum aku membangun kota yang rindang di dirimu, jauh hari sebelum engkau melakukan kesalahan fatal dengan cara menutup-nutupi keinginanmu padaku, jauh hari sebelum aku berniat benar.

Menjadi permasalahanku dari hari ke hari, kemudian, untuk terus-menerus masuk ke kepalamu merayap gundahku secara jujur dan kemudian, menekan tombol-tombol yang ada di dalamnya. Isi kepalamu adalah benda antik yang tidak terlalu rumit. Lebih menyerupai keramik-keramik dari pada sirkuit-sirkuit, tetap harus ada kehati-hatian dalam langkah-langkah pendek yang bersih dari keserampangan. Tapi, tetap saja harus ada gempa-gempa yang ditanam disana yang kelak akan menjadi bom waktu yang menghancurkan rayap rayap keseharian mu yang bahkan mulai membuat jalur-jalur ekonomi di dalam kepalamu.

Aku adalah mahluk melata yang mempunyai 273 tingkat bahaya dan masing-masing tingkat bahaya memiliki 137 anak bahaya. Cukup membahayanakmu dalam usia duapuluh tiga tahun perjalanan mengingat benda-benda. Tingkat anak bahaya yang paling rendah resikonya terwakili oleh sebuah bus di sebuah negara dunia ketiga. Tak perlu banyak alasan dan aturan, Seperti halnya takdir benda cair, ia meluncur sekaligus membuat hukum-hukumnya sendiri menjadi nyata.

Dan, aku melukismu seperti itu. Sebuah deras hujan diatas bukit yang rawan gempa dan renta tanah longsor.

Begitu aku mendapatimu, maka aku harus mematok angka tertentu, semacam tatapan kosmologimu untuk mengimbangi gravitasiku. Ah, tapi bagaimana aku harus menjelaskan kepadamu sehingga engkau yakin benar bahwa engkau dan aku adalah suatu ketidakteraturan? Apakah aku harus mengingatkanmu tentang Hukum Kedua Termodinamika? Digabung atau sendiri dan tertutup, maka ketidakteraturan hanya akan terus bertambah?Ah, tapi anggap saja serupa igauan dalam demam tinggi, tak ada yang perlu diyakini benar.

Bagaimana engkau bisa memagari keinginan-keinginanku jika itu berupa ketidakteraturan? Atau engkau akan mendapati hal yang sama antarwaktumu, sebuah kecemasan yang tidak lagi anggun. Engkau tidak pernah bisa mencuri poin apapun dalam pertandingan ini, kekalahanmu telak dan sudah teramalkan. Angka-angka menjauhimu secara sungguh-sungguh.

Mengertilah. Meninggalkan diriku adalah upaya tak ramah untuk mencoba memahami dirimu sendiri. Dan, tetap saja kau akan menemui diriku dalam malu-malumu.

Engkau perempuan ke tigapuluh tujuh ku dan yang membedakan mu adalah masih ada keinginan-keinginan yang merah segar, sekalipun sudah lama aku mempercayai peti mati kosong bagi namamu. Menguburkannya dalam gundukan tanah yang juga merah dengan sangat sederhana. Hanya ada batu mungil sebesar dan serasa delapan empedu.

Memang ada gelap sebuah pertemuan, juga kemunafikan dan sulur-sulur hitam basah bergerak lembut, selalu saja entah kenapa.

Ah, masih saja tetap mengental, dirimu dalam balutan piyama putih berenda kepala panda. Tidak ada yang lebih penting dari aktivitas harimu melebihi saat-saat menjelang tidur, Saat-saat televisi harus dikurangi volumenya dan memintaku menggaruk lembut punggungmu.

Bagaimana aku harus melepaskanmu? Diluar tak ada salak anjing, tak ada tangis bayi, tak ada yang menakutkan.

Jujur, keinginan-keinginanku sekerabat dengan pertemuan dua raja cobra. tak pernah menggunakan bisa yang paling mematikan untuk membuat yang satu pergi meninggalkan yang lain. Tapi kepergian adalah keharusan, mungkin boleh ditunda tetapi tidak boleh tidak harus dilakukan. sebagai mana kesedihan yang lain, itu hanya membutuhkan sedikit waktu untuk menjadi kebiasaan.

Dan bukankah engkau sudah cukup mengenalku? sampai pada kesimpulan bahwa aku adalah manusia yang tidak cukup tahu apa-apa yang aku butuhkan, dan jika bermain catur hanya selalu memburu dua kuda lawan, dan kemenangan-kemenangan selalu berawal dari sana.

Seperti udara, aku senan tiasa meloncat ringan bergerak cepat dalam cemas. Ada keleluasaan aneh dalam hidup ini. Setiap sedih dan cemas seakan bersekutu dengan lompatan ringan itu. Ya, pada detik-detik terakhir, dan selalu saja, entah mengapa. Dan, kau kecup kening serta punggung kanan ku, selalu dan selalu mengingatkan, aku adalah manusia yang dirahmati menit-menit terakhir, sebab hidup ini kubayar mahal dengan melewatinya bersama kecemasan dan kesedihan. Lalu aku memang berhak mendapatkan, rahmat menit-menit terakhir. Aku tersenyum dan lalu kupastikan lagi pada wajahmu, sesekali aku mulai menyadari, dirimu dalam waktu-waktu tertentu juga seperti udara yang meloncat.

Lalu kau semakin mengenaliku seperti engkau mengenali warna-warna gincu. Kebersamaan kita selama ini telah menggenangi ingatan ingatanku tentangmu, sedang aku tak mau bersedih untuk yang satu ini. Hidup ini sebesar layar TV. Jika kita membukanya, lelahku, lelahmu, tak cukup untuk mengarunginya, tak butuh satu tarikan napas, untuk selesai, untuk sudah.

Aku risau tidak tahu banyak hal, tapi aku tahu, aku akan tetap risau jika tahu banyak hal. Sebab ada yang tetap rumit dalam momen-momen yang singkat, seperti benda-benda hamil yang mengulang evolusinya. Aih, hidup ini!

Aku membutuhkan mu dalam hidup selebar pintu,dalam sepanjang lelah maupun sependek tarikan napas. Sebelum semua itu usang, sebelum aku enggan benar, maka aku akan tetap memastikan kepadamu, bukan saja tentang hidup yang serupa apa pun tapi juga tentang rahasia keinginan, lalu akan kau terima surat-surat, bingkisan-bingkisan,desas-desus, itu semua paket pasar malamku untuk mu, sekali lagi, sebab memang ada keinginan itu.

Terkadang bahkan aku menginginkan untuk tetap menjaga senda-gurau dalam sedikit perilaku primitif tanpa bahasa dan benda-benda moderen. Meninggalkan sejenak dunia kekinian hingga aku bisa menemukan bahasa tersendiri dan menjejerkan benda-benda yang kita butuhkan sekaligus cara bagaimana kita memberinya nama. Menentukan sendiri perahu yang akan membawa kita pergi sekaligus yang menyelamatkan kita, menemukan dan menyinggahi pulau-pulau yang kita inginkan. Ah, aku sungguh ingin melihat rona wajahmu ketika berhasil akan kubuatkan api untuk mengusir dingin dan memanggang makanan, dan perapian itu semakin meredup ketika mulai kau sentuh tubuhku dan membasuhnya dengan pasir. Malam seperti itu ditutup dengan mendekap erat tubuhmu, dan perapian tinggal bara saja.

Mungkin setelah membaca ini semua, engkau juga ingin mengunjungi masa-masa lampau, sebelum ada kera, sebelum ada manusia.

Ya, aku juga memendam hasrat menemukan rasa geli pada tubuhmu sebelum orang-orang mengajariku, sebelum aku tahu, ada rasa geli pada bagian-bagian tertentu di tubuhku.

Aku teringat ada enam jam pertemuan kita sehari-hari. Ada dua kali waktu makan, satu kali waktu mandi--dulu, ada tiga kali waktu beribadah, tapi tidak setelah empat bulan kebersamaan. Tepat sekali jika kita mengakhiri kebersamaan dalam kurun waktu satu tahun, jika tidak, panas tubuh dan berahi tak akan sanggup menghalau belatung-belatung ditempat tidur dan ular-ular yang muncul dari kotak televisi. Waktu sudah sedemikian membusuk dan kita harus bercerai. Ingat, kesetiaan adalah barang rapuh yang hendak menipu gerak waktu. Sudah cukup tanak kita, untuk bercerai, saling memandang dari kejauhan, bersekutu dengan benda-benda dan peristiwa-peristiwa lain. Datang dan pergi, singgah dan berlalu, sesukaku, sesukamu, sebab sebentar lagi akan ditemukan obat pengusir mati, tapi tidak untuk obat pengusir bosan.

Kisah-kisah telah tanggal bahkan saat-saat kita berkisah akan ditanggalkan, suatu saat. Dunia bangun dari kisah-kisah riang, dunia terjaga dari kisah-kisah murung.

Sekarang tidak harus bangun siang lagi, tidak harus sulit tidur malam, tidak harus merasa sendiri dan kesepian. Sekarang, sekaligus juga masih boleh bangun siang,masih boleh sulit tidur malam, masih boleh sepi dan menyendiri. Masih boleh menginginkanmu sebab obat lupa sudah lama ditemukan, dan kita boleh meminumnya, boleh tidak.

Sungguh pernah kualami kemarin, dalam rentan waktu yang tidak begitu lama, engkau lebih indah dari koran pagi. Dalam suam-suam kuku ingatanku padamu, engkau juga masih menggetarkanku. Mungkin engkau telah membangun peradaban aneh di diriku. Serasa menelan bulatan-bulatan pertempuran di sebuah teluk yang di perebutkan lima kekuatan. Bulatan-bulatan selesai kutelan, tapi tidak dengan pertempuran-pertempuran, masih berlangsung, masih berkecamuk.

sesekali aku menempuh lagi ingatanku padamu dengan cara-cara lama, mendengarkan lagu-lagu patah rasa dalam isapan tanggung benda yang mengerami nikotin, seperti ingatan itu, yang kemungkinan besar benda-benda itu akan membunuhku. Aku tahu, akan tetap saja melakukan . Sejenis ketolanan? Mungkin. Tapi, dibunuh atau tidak, sudah bukan hal yang menarik dibicarakan dalam hidup ini. Juga kemarin. Lampu kamar menyala malas, seperti salah satu hal penting jika engkau bertanya padaku dulu, jauh-jauh hari ketika aku berangkat dan kau selipkan kartu ATM-mu. Untuk apa aku bersusah payah? Dan, jawabanku cukup membingungkanmu. Ya, sebab aku sedang bermimpi tentang sebuah masa dimana kemalasan menjadi hak setiap manusia. Aku harus mulai mengerjakanya saat ini juga, menunda kemalasan. Alangkah indahnya bermalas-malasan bersama orang diseluruh penjuru dunia. Bergulingan di tempat tidur atau dipantai berpasir putih. Bayangkan jika semua orang melakukannya.

Hidup ini tak benar-benar menunda kekalahan.

Ada yang mungkin berubah, tapi setidaknya aku masih seorang pemimpi ulung. Aku ingin tinggal diatas biduk kecil dan hari-hariku adalah menelusuri sebuah sungai yang mengalir terus-menerus dan dengan seluruh keberuntungan dan inderaku yang terasah, kelak aku akan melewatinya. Ketika saat paling mendebar-debarkan tiba, aku cukup tahu, aku akan selamat dan kedai pinggiran pantai dengan udara dan hari yang cerah telah menantiku.

Hidup ini tak menuju ke arah kemenangan dan kemalangan

Kemalangan mu adalah ketika engkau merasa yakin bahwa aku akan merampas dan aku akan membawamu pergi dari ketentraman yang hina. Sejauh ini, engkau tetap seperti merasakan waktu yang sama dengan ketika engkau menunggu dering telepon dariku. Padahal, hidup memang tidak harus. Sampai kemudian engkau sadari yang mengirim dering malam ini adalah seseorang yang tak kau kenal dengan kesalahan menekan satu digit di angka paling belakang sebab hidup ini memang benar-benar....

Tapi, engkau adalah luka yang tak pernah kering itu. Bau busuknya menjalar menggenangi udara dan masuk ke tas-tas belanja. Aku masih mendekapnya dalam nyeri tak terhingga, memanggil nama tuan presiden dan membenamkannya pada nyeri lukaku. Ia mati, negara murung benar, rakyat tetap berjalan mungkin agak sedikit tergesa. Tak apa-apa. Biasa saja. Hanya luka itu, sedangkan kematian presiden mungkin akan ada sedikit upacara, selebihnya adalah acara liburan.

Mungkin benar aku adalah diri yang terpecah, berhambur, berserpih, dicincang oleh banyak ingatan oleh banyak peristiwa Sebagian kecilnya berlari-lari pada lorong-lorong sempit berbau busuk dan becek, sebagian kecil yang lain berenang dalam udara penuh racun, serpih lainnya tidak berdaya, bersandar, lelah, terengah-engah, mau mampus. Tapi, setiap orang membayar sendiri keintiman perjalanannya. Tidak boleh merasa sedih karena merasa menanggung segalanya sendirian, tapi boleh sedih untuk yang lain.

Dalam maluku yang masih sempat kusembunyikan bersama larutan hangat minuman, wajah sama merah, sikap diam, gerak tubuh yang agak kacau, engkau memang keajaiban bagiku. Segala kotak sundal kemunafikan telah menyembunyikan nyaris sempurna. Tapi, apakah memang ada hidup tanpa kemunafikan? Bahkan aku tidak percaya pada hidup yang lepas dari membesar-besarkan sesuatu,mengiris sesuatu, meringkas sesuatu, mendramatisir sesuatu, membual. Lalu memang begitulah kadang-kadang hidup ini, bersekutu dengan kemunafikan dan anggap saja itu biasa. Tak perlu menambah kemunafikan lebih rumit lagi dengan mempertanyakan mengapa harus munafik. Selesai bukan?

Biarkanlah aku mengenangmu dalam kebisuan yang agak angkuh, Berlagak tidak memandang dan mencarimu di sebuah pertunjukan teater, sebab aku yakin, engkau juga telah membekap kemanjaanmu untuk tidak mencariku. Pastilah dalam ruang remang itu, kau picingkan mata agak sipitmu itu untuk menemukan sosokku, seseorang yang pernah--dan pasti masih--mengunci erat kotak-kotak di otakmu agar tidak diisi oleh berita-berita murah dan mahal, kabar-kabar yang jelas dan tak jelas, teori-teori yang rumit dan sederhana, harga-harga, rekening-rekening, bekas-bekas rindu, bekas-bekas rangsangan, orang-orang lain, tubuh-tubuh lain.

Juga biarkan aku untuk tidak mengenalmu, sebab begitulah hal yang teringat jelas, kental, pekat, membutuhkan hal-hal yang sebaliknya. Untuk menambah derajat tertentunya atau sekedar seperti menata ruang-ruang di rumah. Ada barang-barang yang tertata karena kebutuhan, ada pula yang karena kebiasaan. ada pula yang murni sebagai pajangan, Begitulah jika aku tidak mengenalmu, bisa jadi secara serius itu adalah jalan untuk mendepakmu dari ingatan-ingatan yang seringkali ku anggap tolol. Tapi, bisa jadi itu justru akan semakin mengukuhkanmu setelah bertarung melawan benda-benda lain, atau bisa jadi, segalanya akan merawat dan membuatmu semakin jadi pesolek di ingatanku. Apa pun itu, akulah yang paling tahu dan masih saja agak malu untuk berterus terang.

Masih juga engkau merundungku dengan sedikit kata yang harus kuurai. Boleh juga pendapat yang mengatakan semakin segala sesuatu terurai, semakin ia kurang wajah, kurang rasa. Tapi, Bagaimana jika aku sengaja membesar-besarkannya, bukan saja sebagai alasan pada banyak pihak, bahwa kamu cukup berharga, tetapi juga karena tidak terampilnya aku untuk menjelaskan. Seperti desahan, seperti tarikan napas, seperti deheman, seperti banyak aktivitas yang menunjukkan keinginan untuk jeda, kebutuhan untuk mempersiapkan, tuntutan untuk bisa menata dengan lebih baik. Bisa jadi, ingat, sekali lagi bisa jadi, aku memperalat ingatan sekaligus keinginanku padamu untuk membuatku menemukan rasa-rasa lain, membuatku merasa lebih dari sekedar tumbuh, atau untuk melatih daya ingat dalam otakku.

Aku memang sulit untuk tidak berpihak, sebab itu berarti di luar konflik sesungguhnya. Aku suka perang yang ku lakukan sendiri, tak mencoba merecoki banyak pihak, lalu ini juga sedikit pengetahuan, engkau tidak harus selalu mendekam dan berdiam lama dalam diriku. Ada kalanya kukeluarkan untuk menjadi mitra tandingku, menjajal ketajaman tulang kaki pada dirimu. Percayalah, jika terluka, aku akan dengan khusuk akan tetap merawatmu, menyembuhkanmu, memberimu banyak lagi pengetahuan untuk sedikit lebih mengerti bagaimana cara bertanding dengan diriku. Permasalahannya adalah jika aku yang kalah--dan ini sering pula terjadi--maka salah satu jalan dari banyak jalan yang lebih rumit, ingatlah aku, dan jadikan itu sebagai sebuah kepastian, bahkan kebutuhanmu. Tanpa itu, aku hanya terus meyakinkan diriku untuk tidak mengapa mengalahkanmu terus, dan merawatmu, dan menyembuhkanmu.

Aku mungkin tahu tentang sedikit rumus turunan dalam rumus baku huidup ini. Bahwa ada hidup-hidup yang lain dari hidup besar ini, bahwa ada mati-mati yang lain dalam mati sungguh hidup ini, bahwa ada kamu-kamu lain dalam kamu yang sungguh di keinginanku ini, Tapi, itu akan semakin banyak membutuhkan banyak kotak dalam otakmu dan didalam kotak itu membutuhkan banyak laci, sehingga aku tahu, tak seharusnya aku perkenalkan ini kepadamu, sebab engkau lebih tertarik untuk mendengar getar suaraku daripada itu semua. Seperti halnya yang dulu, dekapanku yang erat dan hangat lebih akan bisa membuatku bergelora, bukan?

Tanyamu sejenak jadi jeda pada cerita ini, ya, mengapa tak ada yang seakan begitu serius dan pasti dalam hidup dan kata-kataku, maka itu akan jadi ladang suburmu untuk meninggalkanku, sekalipun aku yakin, engkau tidak ingin benar, sesungguhnya engkau cukup enggan.

Atau jika otak ini adalah papan tulis, ada banyak tersedia penghapus dengan bentuk nya yang unik tetapi kita kekurangan kapur tulis. Lalu ada darah, ada getah, dan banyaknya penghapus jadi masalah baru, tak bisa, tak kuasa menghapusnya, juga ingus dan liur kita sendiri. Minta ampun pilihannya, bukan?

Ada banyak teori, alasan dan teknik untuk menjawab dari sedikit pertanyaan, ah itu bukan karena banyak perbedaan dan banyak sisi, itu karena memang hanya ada sangat jarang pertanyaan. Jawaban-jawaban akan lebih gampang usang dari pertanyaan-pertanyaan. Lalu apakah dunia ini didandani oleh pertanyaan-pertanyaan atau jawaban-jawaban? Dan, bagaimana jika tidak boleh kau jawab dengan keduanya. Sebab kali ini aku sedang ingin berpihak pada pertanyaan-pertanyaan dan bukan jawaban-jawaban dan bukan keduanya. Sebab pada kali ini aku berniat melatari alasan-alasanku atas keinginan-keinginanku kepadamu dengan berpihak pada pertanyaan-pertanyaan.Aku mau merayakan dan membuat rumit keinginan-keinginanku padamu supaya takterkesan alamiah dan sederhana. Supaya aku lebih bisa menyembunyikan diri dari ketidak mampuanku menghadapi perasaan-perasaan itu. Biar saja.

Maka, lihatlah, kata-kataku, kalimat-kalimatku, jenis-jenisnya, cara menyajikan dan menyusunnya, adalah sebuah strategi untuk menghindari kepastian yang agak terkutuk itu.

Adakah hal-hal jinak yang dapat kau tangkap disana? Semoga tidak. Ada ketakutan yang sedikit menggarit, sebab pada tingkat kerumitan tertentu, kau akan menggelak, bergedik, menggeleng enggan, tak mengerti. Tapi, jika ada kepastian yang rumit engkau paham dengan sangat. Dan, aku agak takut, lalu jawab sajalah agar aku punya kuasa untuk menentukan hal-hal yang kuinginkan tertata di sana. maka, jawablah dengan kejujuran yang seperti dulu, apakah engkau merasa aku masih menyimpan sejenis cinta kepadamu? Paling tidak engkau sendiri membutuhkan itu, agar ada penyikapan, sebab jika ya jawabannya, aku mohon anggap ini sebuah surat cinta. Jika tidak, anggap sebagai mantra pengganti doamu yang itu-itu juga.

Jika aku tidak punya apa-apa, aku tidak ingin punya janji. jika aku punya apa-apa, aku tidak ingin punya janji.
Ada banyak risau yang bisa kita bagi. Yang pertama adalah kerisauan yang berupa enggan, bayangkan tentang wajah yang lelah yang urung menyeberangi jalan, sebab jalan sepi, sebab jalan tak menyebar sesak dan teriak, ruang dan umpatan. Urung pula menyeberangi jalan, sebab badan ini belum penuh daki. Ada banyak risau yang karena begitu lama tak bisa dikenali lagi. Engkau akan dengan mudah bisa mendapatinya pada kancing-kancing bajumu dan tahi lalat di punggung serta dadamu. Perlu sedikit waktu untuk memeriksanya, lalu engkau bakal yakin benar tentang risau itu membalurku. Tapi, diam-diam saja, risau yang sudah bergelayut dan bersemayam pada tubuh adalah risau yang tak lagi ganas.

Bergeraklah sedikit lebih cepat, gantikan sejenak gerakku yang mulai melambat. Di sela-sela setiap kemauan ada yang harus diselesaikan dengan gangguan, kadangkala gangguan ditengah jalan tak kurang menariknya dari tujuan awal. Boleh bertujuan, tapi pasti boleh berubah haluan. Boleh berkeyakinan, tapi masih boleh merubah haluan. Setiap perjalanan tidak harus terasa menyenangkan, setiap perjalanan tidak harus berupa petualangan, Sehingga kita tidak harus berupa petualangan. Sehingga kita tidak perlu bersikap menjadi petualang tangguh, beriman kuat, menjadi pahlawan. sebab diri ini dicincang banyak hal, maka pasti boleh menjadi plin-plan.

Bahkan tidak ada istilah tanggung-tanggung dan tidak ada separuh jalan. Segalanya bisa urung, dan jejak-jejak bisa dihapus dikembalikan seperti semula, sebelum keberangkatan.

Atau jika tetap bersikukuh, anggap saja perjalanan sebagai proses melarung benda-benda yang tidak kau inginkan. Jika engkau buruh, tak perlu bersetia pada barang wasiat majikan, jika kau warga sebuah negara tak perlu terpenjara pada aturan mainnya. Jika dirimu adalah kepingan tak jelas, mengapa ada yang sanggup mewakilimu?

Jangan pernah mempercayakan hidupmu pada apapun, bahkan pada waktu.

Pada dirimu yang berupa serpihan itu, ada bagian-bagian yang suatu saat memang harus lintang pukang. Ada serpih-serpih yang berhamburan tak terlacak. Ada hal-ha yang tak terkendali, tersesat, tak mau berkumpul lagi. Ada kepingan yang mati sendiri.

Aku rindu saat-saat berbagi sial dengan mu. Saat-saat dimana engkau harus menanggung akibat dari perbuatan-perbuatan yang kulakukan.. Aku rindu untuk membuang dan melempar salah padamu, bahkan ketika engkau masih silap pada acara infotainment dan lupa ada pada jam-jam tertentu, sesuatu mengingatkan untuk menyucikan diri dan berkreativitas serius penuh penghayatan. Aku rindu saat melempar sial, dan aku cukup paham mangapa orang bisa bersembahyang.

Engkau memang pernah sebeku ladang pada senja hari, dan pernah seriang tempat pelelangn ikan. aku suka saat-saat pergantian cuaca, dan saat saat engkau mengganti raut wajahmu dari riang menjadi beku, dari beku menjadi riang. Ah... betapa cepat pelelangan jadi ladang, juga sebaliknya.

Bolehkah malam ini aku bermalam pada tubuhmu?

Tapi, selalu saja hadir saat-saat paling kubenci saat engkau entah dimana, saat engkau tak dapat kutemui pada setiap gerakan yang mampu kulakukan pada wajahku, saat kamu tidak disisku. Tidak ada lagi sebuah wajah yang ranum ketika terjaga dari renggutan mimpi. Tidak ada lagi sepasang kaki rampingmu yang mencari persembunyian pada sepasang kakiku, sebuah pertanda pada bagian tertentu di tubuh kita ada upaya untuk saling menjaga dan melengkapi.

Di luar, orang-orang masih mendengungkan kisah-kisah cinta yang tak pernah padam, kisah-kisah penuh kasih dengan halaman luas yang penuh tanam bunga, mari bernyanyi mendendangkan lagu-lagu cinta. Aku disini memulai lagi untuk mendengar irama pelan yang muncul dalam tenang lelapmu. Lelap yang pernah kujaga dengan setia. Sebuah proses tentram yang kemudian harus kucoba akhiri dengan pengkhianatan.

Cinta tak selamanya buta, mungkin, tapi tak selamanya tak padam, mungkin.

Aku tidak ingin mengumbar bualan, mengumbar cerita tentang cinta yang dahsyat. Ada cinta orang-orang dan benda-benda biasa, dan aku ingin mencermatinya, mempelajarinya dalam tingkat kenaifan manusia mencerap bentuk-bentuk benda. Bahwa kerapuhan tidak bisa sekedar mempercayainya atau mendengarnya, sesekali kita sentuh dan kita jatuhkan. pecah! Sebuah kehilangan, mungkin. Tapi, kepastian yang kuat selalu bertumpu pada bukti-bukti yang mengalir terus. Setiap iman sering salah langkah, mencoba memulai dari percaya demi percaya, bukan dari bukti demi bukti. Dan, biarkanlah kemudian aku tidak mempercayai ini semua, sesuatu yang banyak didengungkan orang, aku tidak pernah memergokinya. Cinta melenggang dan berkibar karena bualan demi bualan.

Seperti kata, seperti benda, ada kepentingan yang terhunus di belakang sana. Suatu saat, aku akan datang untuk memaksamu membuat pengakuan, bahwa apa-apa yang kita jalani selama ini adalah upaya untuk terus-menerus mengikuti tradisi sesuatu, agar supaya dunia berjalan dengan rumus keselamatannya. Enkau mungkin membawa kepentingan menjaga dunia dalam rumusan cinta tertentu, aku, sungguh tidak. Tak ada kepentingan di sana. Hal-ihwal cinta, hal-ihwal keajaibannya.

Telah banyak ku habiskan waktuku untuk hidup dalam pikiran yang kejam. Besar dan kokoh dari kebohongan-kebohongan yang disusun oleh masyarakat dan sejarah. Aku mengunyahnya saban waktu dengan serius, mengikuti alur pikiran yang tak berfaedah. Membuatku besar kepala dengan ilmu-ilmu gaib sama besar kepalanya dan tidak berartinya orang-orang yang menguasai perdagangan.

Bayangkanlah tentang cinta di sebuah sudut lengan dalam lalulintas uang dan modal. Keduanya ingin melacurkan diri, yang satu mengajak mengunjungi dunia-dunia sunyi dan musim semi, yang satu lagi mengajak masuk ke warna-warna tajam, musik-musik menggentak, jalan-jalan raya yang macet.

Seperti cinta tak ada enaknya, bingar uang dan modal begitu menjijikkan. Jika aku ingin bersunyi aku tidak akan menanggapi benda-benda di sekelilingku dan jika aku ingin hingar-bingar aku ingin akrab dengan benda-benda di sekelilingku.

Tapi, kamu tetap merajam otakku, ada apakah?

Ada pula suata ketika aku merasai luka itu seperti terkunci pada udara pekat. Setiap kali aku menghirupnya ada rasa basah yang membawa gergaji di paru-paruku, Dan...aih, tak perlu lagi mendramatisir hidup ini!Seperti halnya ada satu luka saja, seperti tidak pernah terluka saja!

O, ya, aku pastikan sekarang, ini sebuah surat cinta. Jangan pernah membalasnya, sebab aku tahu benar engkau begitu mencintaiku, dan jangan pernah mau menikahiku, catat itu!

0 komentar: